Qatar 2022 : Piala Dunia Yang Setara (The Equal World Cup For Asia & Africa)

Barangkali Piala Dunia yang paling mengejutkan sejak saya menonton kompetisi tertinggi sepakbola ini dari tahun 1998. Fifa World Cup 2022 Qatar, diluar begitu banyak kritikan yang menerpanya dan kebanyakan tidak berkaitan dengan sepakbola itu sendiri, nyatanya menjadi sebuah turnamen yang berhasil (sejauh ini) serta setara.

Bukan setara sebagai sesuatu yang diproteskan oleh timnas Jerman dengan menutup mulut mereka, tetapi setara, seimbang, tidak ada lagi negara yang superior dalam sepakbola. Bayangkan pada babak grup, Arab Saudi mampu menumbangkan calon juara Argentina dengan Lionel Messi didalamnya.

Kejutan tidak berhenti disitu saja, karena Jepang diluar dugaan mampu menunjukkan permainan yang bagus dengan meraup dua kemenangan atas raksasa sepakbola, Jerman dan Spanyol. Ketika melawan Jerman, para pemain Jepang sukses menunjukkan hasil “belajar’ mereka di Bundesliga karena mampu unggul dan akhirnya “menutup mulut” Manuel Neuer beserta rekannya.

Masih tentang Jepang, Piala Dunia kali ini juga menunjukkan bagaimana teknologi yang sudah sedemikian detail mengatur permainan sebelas lawan sebelas. Penggunaan kamera diberbagai sudut, akhirnya menentukan bahwa bola yang dari sudut tertentu terlihat sudah keluar lapangan, namun dari sudut atas masih terlihat ada sedikit bagiannya yang mengapung diatas garis lapangan, membuat wasit memutuskan gol kemenangan Jepang ke gawang Spanyol merupakan sesuatu yang sah.

Bagi tim Singa Atlas, Maroko, Piala Dunia kali ini bisa jadi merupakan sebuah standar baru bagi generasi yang akan datang, bukan hanya untuk anak muda Maroko tetapi juga bagi seluruh Benua Afrika. Hakim Ziyech, Roman Saiss, Yassine Bounou dan yang lainnya mematahkan “kutukan” perempatfinal dengan menjadi wakil Benua Afrika pertama yang lolos ke semifinal sepanjang sejarah Piala Dunia. Lebih menarik lagi karena dari empat kontestan semifinalis Piala Dunia 2022, mereka paling sedikit kebobolan.

Permainan fisik ditambah keuletan dan kegigihan mereka mengejar bola yang tengah dikuasai lawan, serta serangan balik cepat, tentunya membuat Prancis akan sangat memperhitungkan Maroko. Apalagi dalam babak grup, juara Piala Dunia 2018 ini bahkan sempat dikalahkan oleh wakil Afrika lainnya yaitu Tunisia yang kali ini memperbaiki catatan rekor mereka dengan satu kemenangan, satu imbang dan satu kekalahan. Fyi, gaya permainan Tunisia hampir mirip dengan Maroko.

Bagi Benua Asia, selain kejutan yang sudah disebutkan diatas, catatan lainnya adalah untuk kali pertama Piala Dunia diselenggarakan di jazirah arab. Kemudian, teknologi bukan hanya diterapkan dalam permainan sepakbola saja, tetapi juga pada infrastruktur stadion, karena cuaca panas Qatar dapat diatasi dengan sistem pendingin atau AC yang konon terinspirasi dari sistem pendingin pada mobil. Banyak yang menyebutkan bahwa penonton yang hadir langsung alih – alih kepanasan justru merasa kedinginan.

Catatan berikutnya adalah bagaimana kegigihan Korea Selatan yang berhasil lolos dari lubang jarum dengan mengalahkan Portugal dipertandingan terakhir babak grup. Bahkan bagi saya ini rasanya mengulang momen pada Piala Dunia 2018 ketika tim negeri Ginseng ini mengalahkan Jerman. Proses gol kedua Korea Selatan ke gawang Portugal agak mirip dengan gol yang mereka cetak ke gawang Jerman, dengan Son Heung Min yang melakukan sprint dari daerah pertahanannya sendiri.

Terkadang lupa jika Australia merupakan bagian dari wakil Benua Asia. Padahal mereka di Piala Dunia kali ini berhasil membuat sebuah kemajuan. Setelah terakhir kali lolos ke babak 16 besar pada 2006, dan tiga edisi selanjutnya mereka hanya sampai babak grup saja, kali ini The Socceroos masuk ke babak 16 besar dengan permainan yang baik.

Dua kali segrup dengan Brazil pada Piala Dunia 1994 dan 2014, dua kali pula “The Indomitable Lion” Kamerun kalah. Tetapi tidak sekarang karena dalam pertandingan terakhir Grup G, justru Brazil yang bertekuk lutut ketika dimenit 92, sundulan Vincent Aboubakar menghujam ke pojok kiri bawah gawang yang dijaga Ederson.

Seandainya ada yang berkata hasil mengejutkan yang ditorehkan tim dari Benua Afrika dan Asia akibat pengaruh jadwal Piala Dunia yang digelar diluar kebiasaan karena dimulai Bulan November, dengan alasan pada pertengahan tahun musim panas di Qatar akan menyulitkan para pemain yang tidak terbiasa dengan hawa panas, tetapi disisi lain kompetisi empat tahunan dilakukan ditengah jadwal kompetisi klub yang padat yang memungkinkan para pemain kelelahan, itu bisa saja diterima. Namun harus diingat pula, kompetisi di Asia, Afrika pun tengah bergulir, kemudian para pemain yang dibawa oleh negaranya masing – masing banyak yang berkarir di eropa dan rata – rata merupakan pemain utama dilevel klub.

Sepertinya kita harus mengingat kembali ungkapan pemain timnas Prancis, Ousmane Dembele, saat ditanya oleh jurnalis bagaimana tanggapannya mengenai kekalahan Jerman dari Jepang. Sempat menunjukkan rasa terkejut, namun akhirnya ia menjawab bahwa pada era sepakbola modern yang begitu taktis, kekuatan semua tim hampir sama. Sedikit saja kesalahan dapat berarti kekalahan.

Kita pun harus mengingat persebaran pemain dari berbagai negara untuk berkompetisi di Eropa, pada akhirnya memberikan andil bagi “kesetaraan” diatas lapangan.

AFF Championship : Cuma Ada Satu Opsi Bagi Indonesia, MENANG !!

Subscribe ya channelnya

Timnas Indonesia akan menjalani pertandingan terakhir di Piala AFF hari ini, 19 Desember 2021, melawan Malaysia. Menurut jadwal, pertandingan akan digelar pukul 19.30 WIB. Pertandingan ini merupakan do or die bagi timnas Indonesia. Karena dari Grup B, 3 negara masih punya kans sama lolos ke semifinal sebagai juara dan runner up grup. meski, timnas indonesia unggul 1 poin dari malaysia, namun hal ini tidak bisa dijadikan patokan.

Timnas bisa saja bermain aman, memaksakan hasil imbang yang sudah cukup untuk lolos ke semifinal. Namun Malaysia ditengah badai covid- 19 yang menerpa skuad mereka, tentunya akan tampil sekuat tenaga untuk meraih tiket ke semifinal. Satu yang pasti, Indonesia tidak boleh kalah.

Secara kualitas, Timnas Malaysia setara dengan Indonesia, tapi jika diukur dari kemampuan individu, rasanya materi pemain timnas Indonesia masih diatas Malaysia.

Ada beberapa pemain yang patut diwaspadai para pemain bertahan timnas Indonesia, yaitu Safawi Rasid yang sudah mencetak 4 gol. kemudian luqman hakim andalan dilini depan yang bermain untuk klub Belgia. Malaysia biasa memasang formasi 4 – 1 – 4 – 1, tapi dipertandingan terakhir ini mereka bisa saja lebih ofensif, dengan lebih dari satu striker dan memainkan striker naturalisasi yaitu Guilherme de Paula.

AFF Championship 2020 : Masalah Klasik Timnas, Stamina !!

Opini saya melalui channel youtube mengenai pertandingan Indonesia vs Kamboja pada Piala AFF 2020. Meski menang, namun ada masalah serius yang harus segera diselesaikan oleh timnas jelang tiga pertandingan lawan Laos, Vietnam dan Malaysia.

Jangan lupa like, komentar dan subscibe ya.

Jaga Ketakutanmu

Pandemi ini belum usai, malahan berlarut – larut. Setelah virus ini menginfeksi sejak setahun lalu, kini anak – anaknya (varian) dijadikan teror untuk seluruh negara, yang membuat manusia belum bisa lepas dari cengkeraman ketakutan.

Ya, ketakutan. Sejak virus ini memperkenalkan dirinya di Wuhan, setiap hari, kita masih merasakan rasa waswas dan kecemasan. Tak jarang kita menjauhi seseorang, bahkan sanak keluarga sendiri, karena curiga ia merupakan pembawa virus. Hingga akhirnya saat ini, menurut analisa pribadi, terdapat 3 kategori manusia.

Pertama kategori Paranoid. Dari asal kata, tentunya sudah memahami, bahwa kategori ini merupakan yang tidak bisa lepas dari kecemasan dan ketakutan setiap detiknya, bahkan kadar ketakutannya telah melebihi ambang batas.

Kedua kategori Waspada tapi santai. Mereka adalah orang yang mempercayai adanya virus, sering memantau berita, tetapi ya tenang – tenang saja, cenderung selow.

Ketiga kategori Gak percayaan. Kategori ini menganggap covid – 19 hanya rekaan semata. Menganggap virus ini sekedar permainan bisnis ataupun politik.

Ketiga kategori ini memiliki kesamaan yaitu sama – sama penakut (dengan kadarnya masing – masing) dan sama – sama terpapar hoax.

Misal nih, saya pernah mendapatkan satu pesan melalui grup Whatsapp yang menyatakan agar sol / alas sepatu harus disemprot disinfektan karena kemungkinan itulah yang menyebabkan tingginya penyebaran. Pesan ini disampaikan dalam bentuk naratif dan begitu meyakinkan dengan mencantumkan nama seseorang plus gelarnya.

Bagi kalangan paranoid, pesan ini akan diterima mentah – mentah dan dijadikan alasan untuk mulai menyemprot sepatu mereka sehabis kemanapun mereka pergi. Padahal sudah jelas, penyebaran covid – 19 ini disebabkan oleh droplet seseorang yang sakit covid – 19 dan terhirup oleh orang lain. Tetapi karena ketakutan sudah merasuki, maka hal tak masuk akal, belum ada pembuktiannya pun akan diterima begitu saja.

Dua kategori lainnya akan bersikap berbeda. Pertama akan tetap selow, yang lainnya akan menjadikan pesan itu penambah keyakinan bahwa virus ini hoax.

Bagi orang yang selow dan orang yang tidak mempercayai adanya virus ini, sebetulnya sama – sama khawatir terinfeksi covid – 19. Orang selow meski dengan sikapnya yang biasa saja, tetapi ada kecemasan yang mungkin saja timbul jika mendengar seseorang positif covid – 19 dan kebetulan dekat dengannya.

Orang yang tidak percaya covid – 19, juga sama – sama penakut. Mereka tetap pakai masker, apalagi kalau ada penertiban, atau bahkan ketika melihat berbagai pemberitaan tentang covid – 19, mungkin saja hati mereka bergetar, otak mereka berpikir, tapi ditepis dengan sikap dalam hati “Ah Cuma hoax”, yang sebenarnya sikap itu dimunculkan untuk menambah keyakinan bahwa virus ini hanya bualan. Lalu mereka pun akan mencari – cari keterangan lain yang bisa membenarkan sikap mereka.

Lantas masalah selanjutnya, mana yang lebih besar populasinya? Memang tidak ada ukuran pasti, tapi sepertinya setiap orang bisa dengan mudah menjadi tiga kategori itu, bahkan berubah – rubah dari waktu ke waktu.

Tetapi golongan paranoid, bisa jadi akhir – akhir ini semakin bertambah, karena begitu masifnya pemberitaan diberbagai media. Sejujurnya golongan inilah yang paling berbahaya. Kenapa? Karena ketakutan berlebih akan memunculkan sikap reaktif. Golongan paranoid-lah  yang bisa mengucilkan seorang penderita covid dari lingkungan. Golongan paranoid-lah yang bisa dengan mudah memvonis seseorang covid hanya karena sekali batuk, golongan paranoid-lah yang bisa membombardir grup whatsapp dengan berbagai pemberitaan tentang covid yang ia baca, nonton dan dapatkan, berujung pada ketidaknyamanan semua. Maka dari itu, kita harus menghindari menjadi seorang paranoid.

Ketahuilah, virus ini memang ada, yang sakit itu nyata, tetapi virus ini sudah kenal media sosial dan tahu cara membangun nama besarnya melalui media. Jalan yang ditempuh virus ini agar populer adalah dengan membangun ketakutan dihati setiap orang, lebih spesifik, KETAKUTAN AKAN KEMATIAN. Sehingga seseorang yang terkena virus ini dan mengalami gejala ringan saja, sulit pulih, karena ketakutan yang ia rasakan.

Maka dari itu, bukan berarti kita tak perlu takut. Kita harus takut, karena ketakutanlah yang bisa membangun keberanian. Hanya kendalikanlah dan jagalah level ketakutan kita pada kadar biasa saja, tak perlu berlebihan.

Covid – 19 Dalam Sepakbola : Masker di Liga Australia, Bisa Wajib, Bisa Tidak

Dylan Wenzel – Halls menendang bola dengan kuat ke arah gawang Adelaide United yang dikawal oleh James Delianov. Bola meluncur tepat ke arah sang penjaga gawang, nampak akan mudah ditangkap. Tapi sejurus kemudian, tangkapan James Delianov kurang erat, bola lolos ke kolong kaki dan bersarang digawangnya. Brisbane Roars unggul 3-0 atas Adelaide United dalam pekan ke – 4 A – League atau Liga Sepakbola Australia.

Namun bukanlah terjadinya gol yang membuat saya bangkit dari rebahan dan mendekat ke layar kaca. Justru momen setelahnya ketika Dylan Wenzel – Halls merayakan gol dengan berpelukan bersama penonton. Saya lihat ke arah kanan atas layar kaca. Disitu tertera tulisan “LIVE”. Hem sungguh pemandangan langka ditengah pandemi covid – 19 yang mengharuskan kita untuk berjaga jarak bahkan jabat tangan pun sekarang dicurigai sebagai aktivitas menyebarkan virus.

Pertandingan masih menyisakan belasan menit, namun jari dan pikiran saya sudah tersita untuk mengetik dalam kolom pencarian google, apalagi para penonton yang hadir distadion tidak bermasker.

Inilah hasil pencarian saya dari situs health.gov.au

Paragraf pertama dalam tangkapan layar diatas membuktikan bahwa di Australia penggunaan masker bukanlah kewajiban. Saya coba terjemahkan : “Ketika penyebaran covid – 19 dalam skala rendah, orang dalam kondisi sehat tidak direkomendasikan menggunakan masker “. Selanjutnya silahkan terjemahkan sendiri ya.

Mengejutkan. Ketika berbagai negara termasuk Indonesia masih mewajibkan penggunaan masker ditempat umum, ternyata Australia sudah tidak mewajibkan. Negara Kanguru tersebut justru menekankan pentingnya jaga jarak / physical distancing untuk mencegah penyebaran covid – 19. Penggunaan masker diwajibkan atau ditekankan jika seseorang berada dalam kondisi yang sulit untuk menjaga jarak seperti dalam transportasi umum.

Tentunya ini tidak ujug – ujug. Jika kita menggali sumber lainnya, maka ada berbagai langkah yang dilakukan sebelumnya sehingga saat ini penanggulangan covid – 19 di Australia, jika menggunakan bahasa sendiri, berbasiskan kejadian faktual. Hari ini bisa bebas masker, besok wajib masker, lusa bisa bebas lagi.

Dalam penanggulangan covid – 19, Australia telah melakukan berbagai hal yang diperlukan seperti mengunci perbatasan mereka, serta memberikan respon cepat meski hanya ditemukan kasus dalam jumlah kecil saja seperti yang terjadi di Sydney pada akhir Desember lalu. Respon cepat tersebut diwujudkan dalam bentuk karantina wilayah yang ketat. klik BBC

Singkat kata setelah pandemi berjalan setahun, Pemerintah Australia lebih fleksibel dalam penanggulangan covid – 19. Seperti yang terjadi bulan Januari lalu dalam Liga Sepakbola Australia, ketika daerah New South Wales mewajibkan masker bagi para penonton sepakbola yang datang langsung ke stadion, karena meningkatnya kasus covid – 19 didaerah tersebut.

Satu hal yang ditekankan dalam berbagai pemberitaan adalah penanggulangan covid – 19 di Australia berdasarkan sains. Kemudian ketika covid – 19 terjadi pada tahun lalu, semua elemen terutama pada Pemerintahan menyatukan langkah bersama dan terpadu. Selain itu, dalam berbagai pemberitaan pun disebutkan bahwa penanggulangan covid – 19 di Australia berbasiskan kepemimpinan kuat.

Walau hanya melihat satu pertandingan saja, karena memang sangat jarang sekali menonton A – League, namun ada rasa cemburu, mengingat liga sepakbola Indonesia dihentikan dan entah kapan bisa dilanjutkan.

Pengalamanku Dengan Covid – 19 : Gak Ada Panduan, Gimana Dong?

Assalamualaikum, Wr. Wb

Halo sahabat, apa kabar? mudah – mudahan selalu sehat ya. Sudah cukup lama saya tidak memperbaharui tulisan saya, karena cukup “sibuk”. Ya disibukkan oleh virus yang menyebabkan pandemi dan sangat mengganggu kehidupan kita.

Saya tidak terinfeksi oleh virus yang entah darimana asalnya ini, masih diberikan perlindungan dan kesehatan. Namun istri saya yang terinfeksi covid – 19 jelang akhir November, sehingga harus menjalani isolasi mandiri, isolasi rumah sakit, kembali lagi ke isolasi mandiri hingga pertengahan Desember lalu. Bener – bener bikin capek. Capek fisik tapi paling capek adalah mental.

Mungkin pengalaman ini akan saya bagi kedalam beberapa tulisan (mungkin ya hehe). Nah ditulisan ini saya ingin membagikan pengalaman ketika merawat atau menjaga istri yang tengah isolasi.

Ketika pertama kali dinyatakan positif berdasarkan hasil tes swab, istri saya hanya mengalami gejala ringan saja. 2 hari kemudian muncul demam disertai sesak napas. Saat pertama kali mengalami sesak napas, sempat akan dibawa ke rumah sakit tapi urung, karena kemudian kondisinya membaik lagi. 4 hari kemudian, mau tak mau, harus dibawa ke rumah sakit karena sesak napas, kondisinya sudah kepayahan, dan akhirnya dirawat dirumah sakit selama total 7 hari. Ketika kembali ke rumah masih menjalani isolasi mandiri selama 12 hari. (Catatan ketika menderita covid – 19, istri saya tengah hamil 7 bulan).

Saat istri tengah dalam perawatan rumah sakit, barulah kemudian saya menyadari betapa sulitnya merawat pasien covid – 19, meskipun kondisinya isolasi dirumah. Apa yang membuat sulit? Ketidaktahuan cara merawat, karena penyakit ini memiliki penanganan yang khusus. Ketidaktahuan tersebut, mungkin saja bisa membuat kesembronoan yang mengakibatkan kita ikut tertular, mungkin saja mengakibatkan kita terlalu over reacted dan banyak hal lagi. Dampak ketidaktahuan tersebut akan semakin diperbesar oleh kekalutan mental yang rata – rata dialami oleh setiap orang yang terinfeksi covid – 19 maupun yang merawatnya.

Waktu pertama kali tahu positif, cara penanganan yang saya ketahui, hanya berdasarkan informasi – informasi sekilas saja yang didapatkan dari hasil googling. Bahkan saya pun tak disiplin menggunakan masker, hanya sesekali saja kalau istri keluar dari kamar yang menjadi tempat isolasinya. Saya masih ingat, dengan berbekal pengetahuan sederhana bahwa virus menyebar lewat droplet, saya pisahkan barang – barang yang digunakan istri dengan barang – barang kami (termasuk anak), seperti penyimpanan sikat gigi. Padahal jika dipikir, ini sudah sangat terlambat, karena penyimpanan sikat gigi baru dipisahkan setelah ada hasil tes swab.

Ketika pertama kali demam melanda, saya pun bingung apa yang harus dilakukan. Memang ada obat – obatan, tetapi ditengah kondisi demam yang membuatnya menggigil dan sesak napas, saya hanya bisa berdiri didepan pintu kamar, mengajaknya mengobrol dengan tujuan memberikan semangat. Ya hanya itu saja yang bisa dilakukan, karena ada kekhawatiran, jika masuk ikut tertular dan takutnya anak pun nantinya ikut tertular.

Sesak napas adalah gejala yang paling sulit ditangani. Saya hanya bisa menyediakan oksigen dalam tabung kecil saja dengan model semprot/spray. Karena sesak napasnya pun pada awal – awal hanya sesekali saja muncul.

Itu baru 3 hal, padahal masih banyak lagi hal lainnya. Semua yang saya lakukan adalah berdasarkan informasi sekilas saja. Saya tidak googling lebih jauh ketika merawat istri sedang isolasi, karena masalah googling adalah kita meminta 1 jawaban diberikan seribu jawaban. Membingungkan.

Beruntung sebelumnya beberapa orang rekan kerja sempat memiliki pengalaman dengan covid – 19. Satu hal yang mereka tekankan adalah jangan stress, jaga mental, jaga semangat. Saya rasa inilah yang menjadi bahan bakar utama ketika berhadapan dengan covid – 19 selama hampir sebulan. Karena yang lainnya saya tidak tahu, saya tidak memiliki ilmunya.

Bagaimana dengan petugas kesehatan ? mereka datang, menghubungi pasien, dapat dihubungi, juga memberikan vitamin. Namun tetap saja selama 24 jam, pasien dan keluarga pasienlah yang akan menjalani dan menangani semuanya.

Selama 24 jam, keluarga pasienlah yang kebanyakan “bertarung” menghadapi semua. Inilah yang menjadi kegundahan saya. Ketika kita diminta “bertarung”, kita tidak memiliki “senjata”. Apa senjatanya? I L M U. Ilmu yang membuat kita tahu bagaimana menangani pasien yang tengah menjalani isolasi mandiri dirumah.

Jujur saja, tak ada panduan apapun yang diberikan kepada keluarga pasien misal cara mencuci pakaian pasien. Tak ada panduan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Padahal panduan ini sangatlah berarti. Apalagi sekarang malah muncul istilah “Klaster Keluarga”. Setelah menjalani ini semua, saya pikir wajar saja terjadi klaster keluarga, karena seandainya hanya 1 orang saja yang ketahuan positif, karena ketiadaan ilmu, ketiadaan panduan, pada akhirnya seluruh anggota keluarga tertular.

Kegundahan ini yang akhirnya membuat saya mencari, googling, bagaimana sih cara penanganan pasien isolasi mandiri. Akhirnya saya temukan jawabannya dan ternyata sudah termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang pedoman dan pencegahan covid – 19. Disitu dibeberkan lengkap prosedur isolasi mandiri. Namun entah saya kurang mencari atau memang tidak ada, prosedur tersebut rasanya tidak tersebar luas. Mungkin saya kurang mencari, mungkin ya hehe. Tapi saya belum melihat, lembaga kesehatan, menyebarluaskan prosedur tersebut, setidaknya di media sosial, dalam bentuk infografis yang mudah dipahami.

Namun seandainya sudah disebarluaskan pun, ya minimal berikanlah dalam bentuk cetakan, paling sederhana berikan fotokopiannya kepada keluarga pasien. Karena keluarga pasien mah boro – boro googling, mereka sudah kerepotan menghadapi covid – 19. Belum lagi memikirkan kekhawatiran ada stigma negatif dari lingkungan sekitar. Mungkin juga tidak punya kuota internet, atau mereka tidak punya handphone android. Ya saya beritahu, isolasi mandiri ini tidaklah mudah (karena ketiadaan panduan) dan tidak murah.

Singkatnya penanggulangan covid – 19 terutama dari segi edukasi ternyata masih harus banyak dievaluasi. Selama ini kita hanya tahu 3M saja. Bagi saya 3M diibaratkan belajar renang untuk menghadapi banjir yang akan datang. Tetapi sehandal – handalnya kamu berenang, jika banjir sudah memasuki rumah kamu, kamu butuh pelampung, karena otot kamu akan lelah berenang terus – terusan dan akhirnya kamu tenggelam. Pelampung itu adalah Ilmu.

Belum lagi kalau dipikir – pikir, saat ini penanggulangan covid – 19 selain 3M adalah 3T (Testing, tracing, treatment). Bagi saya ini hanya bermain bertahan, karena 3T hanya mencari orang yang sudah terinfeksi saja. Kita harus bermain ofensif, menyerang, dengan apa? ya dengan ilmu. Edukasi masyarakat dengan benar, jangan hanya 3M , tapi berikanlah panduan lengkap bagaimana prosedur penanganan virus ini jika sudah masuk ke rumah masyarakat.

Ya inilah secara singkat pengalaman saya, mungkin saya akan mencurahkan kembali pengalaman lainnya menghadapi covid – 19. Sementara bagi yang membutuhkan panduannya, bisa deh diklik https://www.instagram.com/p/CIKKkAalikn/

Wassalam

Melihat Covid – 19 Dari Dekat

“Penyakit ini (covid-19) memiliki dampak yang lebih berat kepada mental, dibanding gejala kesehatan yang ditimbulkannya”

Mungkin bagi sebagian orang, kalimat yang saya jadikan pembuka diatas, akan didebat dengan keras, tapi mungkin saja bagian sebagian lagi akan mengiyakan.

Bulan Oktober lalu, diawali dari seorang teman ditempat kerja, yang terinfeksi virus covid – 19, sebagaimana prosedur yang berlaku dilakukan tracing terhadap semua karyawan, dan akhirnya ditemukan 2 orang teman lainnya terinfeksi virus ini.

Saya tidak akan bercerita mengenai tes swab dan protokol kesehatan, tetapi saya akan bercerita mengenai apa yang terasa secara mental baik dari 3 orang teman tersebut, maupun saya dan teman lainnya yang tidak terinfeksi. Ya akan berkaitan dengan kalimat pembuka.

Setelah diketahui ada seorang teman yang terinfeksi, 15 orang (termasuk saya) menjalani tes swab karena dianggap kontak erat. Sesuai prosedur, setelah tes swab, sambil menunggu hasil yang akan didapatkan maksimal selama 7 hari, kami diharuskan menjalani isolasi mandiri.

Selama periode menunggu itu, rasa waswas, cemas melanda. Saya yang sebelumnya sehat – sehat saja, tiba – tiba merasakan agak sedikit demam yang hanya berlangsung sejam atau dua jam. Rasa tidak nyaman berada dirumah karena khawatir seandainya hasilnya positif dan menularkan kepada keluarga, terus dirasakan. Hingga dirumah pun, saya sering menggunakan masker.

Memang perlahan, kecemasan dan kekhawatiran itu bisa diredakan dengan sebuah fakta, bahwa teman yang sakit sudah sembuh atau dalam masa penyembuhan, dan gejala yang dia alami pun tidak semenakutkan seperti yang kita lihat ketika pandemi ini merebak di Wuhan. Hanya demam beberapa saat, setelah demam reda, penciuman hilang sementara. Biasanya ketika hilang penciuman, sudah tidak ada lagi gejala demam apapun.

Hasil tes swab pun keluar. 14 orang dinyatakan negatif dan seorang positif. Setelah itu, dilakukan kembali tes swab pada seluruh karyawan lainnya, dan kembali ditemukan, seorang teman positif.

Setelah ditemukan 3 orang pasien covid – 19 di tempat kerja kami, muncullah reaksi – reaksi dari lingkungan sekitar, karena kabar kantor kami menjadi klaster covid – 19, menyebar dilingkungan pekerjaan kami.

Reaksi tersebut dirasakan oleh karyawan yang kembali bekerja karena hasil tesnya negatif.

Dimulai dari seseorang yang mengantarkan surat, tidak mau masuk ke dalam kantor seperti biasanya dan memilih untuk diam diluar pintu saja. Kemudian beberapa orang teman yang berkunjung ke kantor lain, mendapatkan larangan untuk masuk, tetiba orang dikantor tersebut sibuk mengenakan masker, dan terjadi pula, mereka langsung menjauh.

Itu yang kami alami dikantor, bagaimana dengan teman – teman yang sakit?

Dari segi mental, nyaris sama, meski mereka tentunya lebih berat. Ketika mereka mendapatkan telepon yang mengabarkan bahwa hasil tesnya positif, kesedihan, perasaan tidak menerima, ketakutan langsung muncul. Bahkan ada yang tiba – tiba demam kembali, padahal ketika dites dan hari – hari sebelumnya, dia dalam kondisi sehat.

Belum lagi mereka memikirkan bagaimana seandainya mereka menularkan kepada yang lain. Mengenai hal ini, karena penemuan pasien covid – 19 di Kantor kami, terjadi bertahap, maka ketika satu pasien yang sudah dinyatakan positif mengetahui ada teman lainnya yang juga positif, mentalnya kembali tertekan. Perasaan bersalah muncul karena mengira ia menularkan penyakit ini kepada yang lain.

Dua orang teman yang sudah selesai menjalani isolasi dan kembali bekerja, ketika ditanya, apa sih yang berat dari covid – 19 ini? Jawabannya sama yaitu tekanan mentalnya lebih berat dari penyakitnya. Karena ketiga orang teman saya yang dinyatakan positif semuanya sehat. Dua diantaranya mengalami gejala kesehatan jauh hari sebelum dites. Mereka sendiri saat mengalami demam, tidak menyadari apa yang mereka rasakan adalah covid – 19. Mereka baru sadar ketika kehilangan fungsi penciuman.

Tekanan mental ini bukan hanya memikirkan apa yang akan mereka alami dengan kesehatan, tetapi apa yang akan mereka alami secara sosial. Belum lagi, apa yang akan dialami oleh keluarga mereka seandainya tetangga mengetahui ihwal mereka sakit.

Seorang teman yang sakit mengatakan dampak sosial itu, dirasakan keluarganya yang berjualan. Setelah tetangga mengetahui dia sakit, maka dagangan keluarganya sempat tidak laku.

Itu sekelumit yang mereka rasakan ketika menjalani isolasi. Bagaimana ketika mereka kembali bekerja setelah isolasi? saya melihat kekhawatiran – kekhawatiran orang disekitarnya masih ada. Sedikit menjauh, itulah yang sering terlihat. Mudah – mudahan seiring waktu, kenormalan ini bisa kembali didapatkan.

Hingga akhirnya, saya berani membuka tulisan ini dengan kalimat seperti diatas. Dampak mental dan sosialnya lebih berat daripada apa yang ditimbulkan covid – 19.

Liga 1 Tanpa Kepastian

Merumput edisi 19 Oktober 2020 (Tulisan ini, saya unggah pula di swaraperintis.blogspot.com)

Kelanjutan Liga 1 musim 2020 belum dapat dipastikan. Selepas PSSI, PT. LIB dan klub bertemu pada 13 Oktober 2020 lalu dengan hasil menyepakati kompetisi kembali dilanjutkan pada bulan November, muncul kabar lain yang menyebutkan bahwa pihak Polri tetap tidak akan mengeluarkan izin. Selain karena angka penyebaran covid – 19 masih tinggi, agenda Pilkada juga sudah didepan mata. Lantas apakah liga dapat berjalan pada 1 November mendatang? .

Rasanya sangsi. Karena jika merujuk pada pelaksanaan Pilkada maka kemungkinan liga baru bisa dilanjutkan pada pertengahan atau akhir Desember. Sudah sangat telat. Bisa saja liga dimulai Januari 2021, namun jika begitu, kenapa tidak memulai liga musim baru saja.

Melihat pada pelaksanaan liga diberbagai negara ditengah pandemi covid – 19, maka sebetulnya ada 2 opsi yang bisa dilakukan untuk menjalankan kompetisi namun tetap dalam pengawasan dan protokol kesehatan ketat.

Pertama, mengingat  sebentar lagi tahun 2021, bisa saja PSSI dan PT. LIB, tentunya atas persetujuan klub, menyelesaikan musim ini dengan sistem setengah kompetisi. Sehingga setiap klub tinggal menyelesaikan sisa pertandingan diputaran pertama saja dan liga selesai. Lebih singkat dan tidak bertele – tele. Contoh seperti yang dilakukan oleh Liga Malaysia yang saat ini sedang mempersiapkan musim kompetisi baru selepas melanjutkan liga yang sebelumnya terhenti karena pandemi.

Kedua, menggunakan sistem bubble. Sistem ini akan digunakan oleh Liga Sepakbola Filipina dan sebelumnya dilakukan oleh MLS dan NBA. Semua klub dikumpulkan dalam satu kompleks yang sama, bertanding dilapang sama, menginap ditempat sama, hingga musim kompetisi selesai. 

Memang dengan 18 klub Liga 1 dan jumlah yang lebih banyak di liga 2, tentunya akan ada kesulitan jika hanya menggunakan satu tempat. Tetapi kenapa tidak, misal 18 klub Liga 1, dibagi 2 grup. Masing – masing grup punya tempat bertanding dan menginap yang telah ditentukan. Bikin saja kompetisinya lebih singkat. Misal pada akhirnya dari masing – masing grup, juaranya dipertandingkan dibabak final. Perubahan format kompetisi ditengah pandemi sudah banyak dicontohkan negara lain dan tidak mengundang teguran apapun dari FIFA.

Kedua opsi tersebut bisa dilakukan dan mungkin lebih selaras dengan protokol kesehatan. 

Pagi ini (20/10) muncul berita bahwa PSSI akan segera berkoordinasi dengan Polri dan salah satu klub sudah kembali berlatih. Ditengarai ini merupakan sinyal positif, liga akan dilanjutkan dibulan November. Tetapi kemudian, muncul lagi berita, bahwa kapan koordinasi tersebut dilakukan belum dapat dipastikan. Jadi?? GALAU BERSAMA !!!

Preview(opens in a new tab)

Covid – 19, Kapan Bisa Normal?

Siapa yang bisa menjawab pertanyaan dijudul? Ataukah hanya akan menjadi retorika semata?

Covid – 19 sejak kemunculannya di Wuhan hingga bulan Oktober 2020, telah menyebabkan kebingungan tanpa akhir tentang bagaimana mengendalikan penyebarannya, apa obat manjurnya, ini sebenarnya penyakit apa, ko gejalanya macam – macam.

Satu hal yang pasti dari virus ini adalah berhasil menanamkan ketakutan. Ketakutan membuahkan berbagai hal seperti menimbulkan kecurigaan, perdebatan, dan berjauhan. Bagai pembagian bab karya tulis, setiap buah ketakutan, menghasilkan sub bab lainnya dan terus beranak pinak.

Virus ini tidak hanya menyebabkan sakitnya 63.004 orang di Indonesia (Angka yang dihasilkan dari jumlah total kasus 307.120 dikurangi angka kematian 11.253 dan dikurangi jumlah kesembuhan 232.593. Angka ini dilansir dari Detik.com tanggal 6 Oktober 2020). Tetapi juga menyebabkan sakitnya jutaan warga sehat yang tidak terjangkit sekalipun hingga hari ini. Sakit apa mereka yang sehat? Itu tadi, hidup selalu penuh dengan ketakutan. Tidak ada kemerdekaan.

Bagai mobil yang berada dijalan raya, saat ini kita selalu diminta untuk menjaga jarak. Kenapa menjaga jarak? karena takut bahwa orang didepan, samping atau belakang kita, bisa saja menderita corona / covid – 19. Saf di masjid direnggangkeun karena siapa tahu disamping kanan atau kiri, ada orang yang membawa virus covid – 19.

Anehnya ketika foto bersama A.K.A wefie untuk keperluan media sosial, jarak itu hilang seketika.

Sekolah diliburkan, hingga kapan? entahlah. Karena dibeberapa negara, ada anak sekolah yang terjangkit. Sehingga tidak diambil resiko, lebih baik belajar daring saja yang tidak jelas efektivitasnya. Ada beberapa sekolah yang bisa memulai belajar (meski ditutup kembali), tapi tetap dengan jaga jarak. Meja dipasangi kandang plastik, seakan siswa memakai masker dan tameng wajah, tidak cukup untuk menghadang virus yang hingga saat ini tidak diketahui darimana sumbernya. Jika sekolah dibuka, maka siswa – siswi tidak boleh jajan dikantin sekolah, harus bawa sendiri dari rumah, untuk mencegah agar tidak tertular covid – 19.

Anehnya, ketika saat ini para siswa – siswi saat ini belajar dirumah pun, untuk cemilannya kebanyakan jajan keluar kok, kaya ke warung atau minimarket.

Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa virus covid – 19 sebenarnya lebih berbahaya dampak secara psikologisnya, yakni tumbuh suburnya ketakutan.

Vaksin digadang – gadang akan menjadi jawaban atas ketakutan itu. Namun benarkah? penyakit flu biasa saja hingga kini belum ada vaksinnya, ko ini virus yang baru hitungan bulan, sudah akan tersedia vaksinnya? manjurkah?

Ketakutan demi ketakutan terus ditanamkan setiap hari. Seakan bunga yang disiram setiap hari, ketakutan ini janganlah sampai layu. Covid – 19 katanya telah bermutasi menjadi 10 kali lebih ganas. Kok cepet sekali? wawasan yang pernah saya terima, biasanya mutasi itu karena ada intervensi, misal karena adanya vaksin. Ko bisa bermutasi tanpa ada intervensi?

Menanamkan ketakutan paling nyata setiap hari adalah melalui sajian angka yang dibalut dengan berbagai narasi menyeramkan. Misal 7,5 juta kasus covid – 19 di Amerika Serikat. Berita itu muncul beberapa hari lalu ketika Donald Trump terinfeksi covid – 19. Padahal sejatinya 7,5 juta kasus itu jika dihitung dari kasus nomor pertama. Karena sebenarnya 4,6 juta lebih kasus sudah selesai alias sembuh.

Saya tidak menyangsikan virus atau penyakit ini. Nyata dan faktanya ada. Tetapi apakah saat ini sudah sedemikian gawat? Jika pengukuran penyebaran virus ini masih berdasarkan hasil tes, memang angkanya tinggi. Tapi jika dibandingkan dengan jumlah populasi, maka kecil sekali.

Apakah saat ini di Indonesia, ada satu RW yang semua penduduknya terjangkit? rasanya tidak. Betul memang seperti diperusahaan atau lembaga sempat terjadi apa yang dinamakan kluster. Namun apakah mereka bergelimpangan karena sakit?

Judulnya pertanyaan, isinya pun banyak pertanyaan, karena memang banyak yang harus kita tanyakan tentang virus ini. Karena virus ini paling berhasil menjangkiti dengan ketakutan. Apa yang harus kita lakukan sekarang adalah tetap optimis, patuhi protokol kesehatan karena memang itu ketentuan yang berlaku, dan kikis ketakutan kita sedikit demi sedikit, karena jika terus menerus takut,maka dampaknya akan lebih besar dari sekedar masalah kesehatan.

Liga 1 Ditunda, Imunitas Bisa Turun

Seharusnya kemarin, 1 Oktober 2020, kita kembali menonton kompetisi sepakbola Liga 1 yang diawali oleh pertandingan PS Sleman. Setelah Liga 1 dan 2 resmi ditunda sejak bulan Maret karena pandemi covid – 19, dan ditengah kembali bergulirnya sepakbola dan kompetisi olahraga diberbagai negara, dipertandingkannya lagi Liga 1 dan 2, menjadi angin segar ketika ajakan diam dirumah masih terus digaungkan sebagai upaya pencegahan covid – 19.

Namun apa mau dikata, Senin (28/9), Polri mengumumkan bahwa mereka tidak mengizinkan Liga 1 dan 2 bermain, karena tidak mengeluarkan izin keramaian diberbagai tingkatan, dengan alasan jumlah penyebaran covid – 19 yang terus bertambah.

Keputusan tersebut, sungguh diluar prediksi. PSSI dan PT. Liga Indonesia Baru pun nampak tidak berkutik, karena mereka menyebutkan akan menunda pembukaan kembali Liga hingga bulan November. Sikap tersebut juga didukung oleh Menpora.

Padahal, beberapa klub Liga 1 yang berasal dari luar pulau Jawa, sudah mulai berdatangan, dan bermukim di pulau Jawa untuk sementara, sesuai syarat dimulainya kembali Liga 1, bahwa semua pertandingan dipusatkan di pulau Jawa. Kemudian protokol kesehatan pun telah mengadopsi protokol dari beberapa referensi, salah satunya Bundesliga (Liga Jerman), para pemain pun bahkan telah menjalani tes swab.

Peraturan kesehatan telah disusun, PT. Liga Indonesia Baru akan menanggung biaya tes swab karena per 2 minggu, pemain dan pelatih dari setiap klub harus menjalani tes swab. Liga 1 dan 2 akan digelar tanpa penonton pula. Terpenting, kembalinya Liga 1 dan 2, telah direstui Satgas Penanganan Covid – 19. Apa yang kurang?

Sangat disayangkan keputusan penundaan tersebut diambil, meski setiap keputusan tentunya memiliki dasar dan harus dihargai.

Tapi dengan penundaan ini, Kok saya menjadi pesimis tentang penanganan covid – 19 di negara kita. Lah kenapa? karena diberbagai negara, salah satu ciri penanganan covid – 19 sukses, adalah kembalinya kompetisi olahraga, meskipun dilaksanakan tanpa penonton dan menerapkan protokol kesehatan ketat.

Kita ini setiap hari hidup dalam ketakutan. Takut terjangkit covid – 19. Angka – angka penyebaran covid – 19, terus disajikan, yang justru rasanya menjadi sesuatu yang meneror hidup kita. Seakan semuanya sudah gawat darurat. Padahal setiap hari kita menjalani hidup biasa saja, ada yang sudah pulang pergi keluar kota, ada yang sudah berwisata, ada yang sudah nongkrong di cafe dan lainnya.

Belum kembali ke kehidupan kita diantaranya adalah sekolah. Adanya ketakutan bahwa covid – 19 akan menyebar disekolah, dijadikan alasan kuat masih belajar online yang justru tidak efektif sama sekali dan hanya membuat anak – anak malah kurang belajar atau kurang terdidik.

Ketakutan demi ketakutan yang justru akan membuat lemah daya tahan tubuh kita, karena pikiran kita terus dijejali kekalutan.

Seharusnya kembalinya kompetisi olahraga, meski hanya ditonton melalui layar kaca, menjadi penyeimbang ketakutan kita. Menonton sepakbola, bagi yang suka, akan menghadirkan rasa senang. Bukankah rasa senang, jiwa bahagia, adalah sesuatu yang dibutuhkan kita untuk menjaga imunitas tubuh tetap kuat?

Kita takut sebelum memulai. Belajarlah ke negara lain. Zlatan Ibrahimovic di AC Milan, Thiago Alcantara di Liverpool, terjangkit covid – 19, tetapi Serie A italia dan Liga Primer Inggris tetap berjalan. Bahkan dibeberapa liga sepakbola, ketika ada pemain yang terjangkit covid-19, tidak serta merta liga dihentikan, tetap berjalan karena memiliki prosedur penanganan yang baik. Kenapa sih kita tidak bisa mencontoh?

Apalagi dengan disentralisirnya pertandingan Liga 1 dipulau Jawa, sampai transportasi untuk pertandingan tandang saja disiapkan, maka ini sudah menunjukkan adanya rujukan penanganan yang baik. Kenapa tidak dicoba dulu?

Entahlah. Pastinya tubuh saya gagal memproduksi hormon endorfin dari senangnya menonton Persib lagi. Mudah – mudahan saja, imunitas saya dan kalian para penggemar sepakbola, tetap kuat.

Oh iya, negara ini sedang pemulihan ekonomi kan? Gak kebayang hotel – hotel yang sudah dibooking klub dan akhirnya gagal.